Oleh: Prof. Dr. Ir. Umar Santoso, M.Sc.
Pangan pokok mayoritas penduduk Indonesia adalah beras. Pameo lama menyebutkan ana dina ana upa, “ada hari ada butir nasi”, ini mengisyaratkan bahwa nasi memang pangan pokok yang harus diusahakan supaya selalu tersedia di setiap rumah tangga. Sebagian penduduk daerah tertentu memang menjadikan bahan lain seperti ubikayu (singkong), ubi jalar, jagung atau sagu sebagai pangan pokok, namun hal ini lebih karena lahan daerah tersebut alaminya memang sulit menghasilkan beras dan lebih mudah menghasilkan bahan-bahan pangan tersebut. Seandainya diberikan opsi, tersedia beras melimpah dengan harga terjangkau, hampir pasti mereka akan cenderung memilih beras. Ini wajar karena sebagai pangan pokok (staple food) beras mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan umbi-umbian, jagung maupun sagu, bahkan dengan gandum yang merupakan bahan pangan impor. Keunggulan beras dibandingkan dengan bahan pangan pokok lain paling tidak meliputi nilai gizi, cita rasa, dan kemudahan pengolahannya.
Beras adalah bahan pangan padat gizi, karbohidratnya lebih tinggi daripada umbi-umbian dan bahan pangan lain. Cita rasa nasi hasil tanak beras hampir tiap orang dapat menerima dan menikmati sedangkan umbi-umbian belum tentu, demikian juga kemudahan pengolahan dan fleksibilitas pemanfaatannya lebih unggul dibandingkan dengan sumber karbohidrat lain. Gandum, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan umbi-umbian termasuk nilai gizi dan fleksibiltas pemanfaatannya. Gandum mengandung gluten, jenis protein yang berperan dalam pengembangan roti, sedangkan umbi-umbian tidak. Namun gandum alaminya tidak dapat diproduksi di tanah air, sehingga harus diimpor.
Selama ini dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan pemerintah mencanangkan program diversifikasi pangan. Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan jajarannya di daerah gencar mengampanyekan Program P2KP (percepatan penganekaragaman konsumsi pangan). Program ini dikaitkan dua alasan, pertama, karena kebutuhan beras dalam negeri yang terus meningkat sehingga impor beras semakin meningkat pula, kedua, karena skor PPH (Pola Pangan Harapan) yang masih rendah. Menurut Penulis, pemahaman permasalahan dan kebijakan tersebut perlu ditinjau kembali.
Kebutuhan beras penduduk yang meningkat merupakan tantangan, mestinya direspon dengan upaya keras untuk meningkatkan produksi, bukan impor sebagai jalan mudah, jalan pintas yang justru potensi menimbulkan problem lebih besar dikemudian hari. Peluang masih luas ntuk meningkatkan produksi beras nasional mengingat potensi sumber daya alam dan faktor pendukung yang tersedia.
Skor PPH yang rendah (sekitar 78, idealnya 100), menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat belum beragam. Tampaknya ini dimaknai bahwa selama ini konsumsi pangan pokok yang sebagian besar beras merupakan penyebab rendahnya angka PPH sehingga harus diganti dengan sumber karbohidrat lain. Alhasil, programnya adalah turunkan konsumsi beras, ganti/tingkatkan konsumsi sumber karbohidrat non-beras. Dengan kata lain, ganti beras dengan bahan nonberas sebagai pangan pokok. Yang dimaksud bahan non beras ini utamanya adalah umbi-umbian lokal. Pada dasarnya sangat tidak mudah mengubah kebiasaan makan bagi seseorang yang biasa makan nasi beralih ke umbi-umbian. Dari segi gizi mengganti beras dengan umbi-umbian berarti suatu kemunduran jika tidak dibarengi dengan peningkatan konsumsi sumber protein dan zat gizi lain.
Di lain hal, perlu diingat terigu merupakan sumber karbohidrat lain yang siap bersaing di pasaran. Dengan keunggulan terigu sebagai bahan pangan dan dengan harga per kilogramnya yang jauh lebih rendah dari tepung umbi-umbian (sekitar 1/3-nya) wajar jika masyarakat cenderung akan memilih terigu daripada umbi-umbian. Karena itu kampanye penurunan konsumsi beras dan mengganti dengan nonberas dapat berdampak dan bermakna mendorong meningkatkan konsumsi terigu masyarakat sehingga justru akan menambah peluang terbukanya kran impor gandum lebih besar lagi. Kampanye “one day no rice” merupakan kebijakan yang mengecoh dan tidak bijak karena justru memberi peluang meningkatnya impor gandum disamping timbulnya dampak lain. Jika komitmen kuat untuk pro-bahan pangan lokal dan pro-petani mestinya yang lebih tepat adalah kampanye “one day no wheat”; beranikah? Atau, paling tidak “one day less wheat”. Kita berharap pemerintah baru mendatang akan memperbaiki kebijakan pembangunan pangan yang ada selama ini.
Tulisan ini telah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 2014 & buku “Pangan Indonesia yang Diimpikan”, PATPI 2016.