Ditulis oleh: Andriati Ningrum*
Mie
Saat ini banyak sekali produk mie yang beredar berbahan dasar bukan terbatas pada tepung terigu. Sebagai salah satu upaya diversifikasi pangan yang akan berkontribusi terhadap ketahanan bangsa kita, saat ini banyak sekali mie yang terbuat dari bahan baku yang bervariasi seperti jagung, singkong, beras, ubi jalar, ganyong, dan sebagainya. Hal ini menciptakan diversifitas dari produk produk mie yang berada di pasaran dan dapan mendukung kearifan pangan lokal.
Gambar 1. Beberapa jenis Mie yang terbuat dari sumber bahan lokal
Apakah Gelatinisasi
Seperti yang kita ketahui bahwa bahan dasar pembuatan mie pastinya mengandung karbohidrat kompleks yaitu pati. Pati (Starch) ini adalah jenis polisakarida yang terdiri dari unit-unit glukosa, dan umumnya tersimpan dalam berbagai jaringan tanaman sebagai cadangan energi. Secara mikroskopis pati akan memiliki bentuk seperti granula dimana, granula pati akan memiliki struktur pembangun dan komposisi yang berbeda-beda, namun umumnya mengandung 2 fraksi utama yaitu fraksi amilosa dan amilopektin. Fraksi amilosa merupakan polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α(1,4)-D-glukosa (Fennema, 1996). Umumnya amilosa terdiri dari 50 hingga 300 unit glukosa. Struktur dari Amilosa dapat dilihat di Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia dari Amilosa sebagai penyusun pati (Fennema, 1996)
Sedangkan di sisi lain, fraksi selain amilosa adalah amilopektin. Amilopektin ini merupakan komponen yang terdiri dari α-D-glukosa yang kemudian dihubungkan dengan ikatan α(1,4)-D-glukosa. Selai itu amilopektin juga memiliki cabang dengan ikatan α(1,6)-D-glukosa (Fennema, 1996). Amilopektin bisa terdiri dari 300-500 unit glukosa namun glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-1,4 hanya sekitar 25-30 unit. Struktur kimia amilopektin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia dari Amilopektin sebagai penyusun pati (Fennema, 1996)
Komposisi dari amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap penampakan dari granula pati. Di bawah ini terdapat gambar yang menjelaskan mengenai morfologis granula pati dari mie berbahan dasar tepung terigu yang disubtitusi dengan kidney bean (Gambar 4). Semakin tinggi subtitusi kidney bean menyebabkan perubahan morfologis pati dari mie tersebut serta kadar amilopektin pada mie tersebut akan semakin meningkat (Bharath Kumar & Prabhasankar, 2015).
Gambar 4. Scanning electron micrographs sampel Mie. (a) Con – Control (Tepung Terigu), (b) 1R – 10% kidney bean + 90% tepung terigu, (c) 2R – 20% kidney bean + 80% tepung terigu, (ad) 3R – 30% kidney bean + 70% tepung terigu (Bharath Kumar & Prabhasankar, 2015)
Kedua fraksi amilosa dan amilopektin ini akan mempengaruhi proses gelatininasi pada pati sebagai komponen utama pembuatan mie. Molekul pati mempunyai beberapa gugus hidrofilik yang dapat menyerap air. Bagian yang bersifat amorf dapat menyerap air dingin hingga 30%. Sedangkan apabila pati dipanaskan hal ini dapat meningkatkan daya serap air pati hingga 60%. Penyerapan air ini akan menyebabkan pecahnya ikatan hydrogen penyusun pati yang bersifat amorf. Pada awalnya perubahan volume dan penyerapan air masih bersifat reversible. Namun demikian, pada suhu tertentu, pecahnya bagian amorf ini akan diikuti dengan pecahnya granula. Suhu dimana granula pati pecah ini akan disebut suhu gelatinisasi. Apabila suhu gelatinisasi sudah tercapai maka proses perubahannya tidak reversible (Fennema, 1996). Secara fisik, perubahan selama terjadinya proses gelatinisasi ini dapat dilihat secara kasat mata. Mula-mula suspense pati yang keruh akan mulai menjadi jernih pada suhu tertentu yang disebut suhu gelatinisasi tergantung jenis pati yang digunakan (Gambar 5).
Gambar 5. Mekanisme terjadinya gelatinisasi pati (Anonymous, 2015)
Pada proses pembuatan mie, selama proses perebusan makan proses gelatinisasi akan terjadi. Apabila proses gelatinisasi belum terjadi optimal, maka kualitas mie yang dihasilkan pun belum kenyal optimal.
Gambar 6. Granula pati yang membengkak seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan (Xue, Sakai, & Fukuoka, 2008)
Selama proses pembuatan mie, dengan naiknya suhu air perebusan, maka ikatan hidrogen di dalam pati akan semakin melemah. Disisi lain molekul air mempunyai energi kinetik yang cukup tinggi sehingga mudah berprenetasi ke dalam granula (Gambar 6). Kemudian air akan terikat secara simultan ke dalam fraksi amilosa dan amilopektin yang merupakan komponen pati dan menghasilkan granula pati berkembang menjadi besar. Pada akhirnya granula pati akan pecah sehingga molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk ke dalam sistem larutan yang menyebabkan kehilangan sifat birefringence dari pati tersebut. Secara fisik pun, mie instan yang bersifat brittle pada akhirnya akan berubah menjadi lebih kenyal (Gambar 7).
Gambar 7. Proses pemasakan mie hingga matang yang dipengaruhi oleh proses gelatinisasi
Optimasi pemasakan mie juga tergantung dari jenis pati yang digunakan. Seperti yang tertera pada Tabel 1, ternyata sumber pati yang digunakan akan berpengaruh terhadap terjadinya gelatinisasi. Apabila optimasi perebusan mie di bawah dari suhu gelatinisasi, maka umumnya mie yang dihasilkan belum kenyal optimal. Disisi lain, apabila proses pemasakan dilakukan diatas suhu gelatinisasi dan juga terlalu lama akan menghasilkan produk mie yang terlalu kenyal dan mie akan semakin lengket.
Hubungan Gelatinisasi dengan Kualitas Mie
Tabel 1. Beberapa suhu Gelatinisasi dari Berbagai Pati (Turhan & Sagol, 2004)
No | Bahan | Suhu Gelatinisasi (⁰C) |
1 | Gandum | 52-85 |
2 | Jagung | 62-80 |
3 | Sorgum | 71-80 |
4 | Beras | 58-79 |
5 | Chickpea | 55-60 |
6 | Ubi Jalar | 82-83 |
7 | Tapioka | 59-70 |
Gambar 7 menggambarkan pengaruh waktu pemasakan terhadap kualitas mie yang berbahan dasar beras. Semakin lama proses pemasakan mie tersebut menyebabkan mie yang dihasilkan akan semakin lengket (Gambar 7). Oleh karena itu perlu dilakukan trial dan error untuk proses pemasakan mie dari segi waktu pemasakan hingga suhu pemasakan sehingga mendapatkan mie kenyal yang optimal.
Gambar 8. Pengaruh waktu pemasakan terhadap penampakan visual dari mie yang terbuat dari Tepung Beras (Wandee et al., 2015).
Referensi:
Anonymous. (2015). http://ireport.cnn.com/docs/DOC-810642. Downloaded at 21st June 2015
Bharath Kumar, S., & Prabhasankar, P. (2015). A study on starch profile of rajma bean (Phaseolus vulgaris) incorporated noodle dough and its functional characteristics. Food Chemistry, 180, 124–132. doi:10.1016/j.foodchem.2015.02.030
Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. New York.
Turhan, M., & Sagol, S. (2004). Abrupt changes in the rates of processes occurring during hydrothermal treatment of whole starchy foods around the gelatinization temperature – A review of the literature. Journal of Food Engineering, 62(4), 365–371. doi:10.1016/S0260-8774(03)00252-8
Wandee, Y., Uttapap, D., Puncha-arnon, S., Puttanlek, C., Rungsardthong, V., & Wetprasit, N. (2015). Quality assessment of noodles made from blends of rice flour and canna starch. Food Chemistry, 179, 85–93. doi:10.1016/j.foodchem.2015.01.119
Xue, C., Sakai, N., & Fukuoka, M. (2008). Use of microwave heating to control the degree of starch gelatinization in noodles. Journal of Food Engineering, 87(3), 357–362. doi:10.1016/j.jfoodeng.2007.12.017
*) Dr. Andriati Ningrum, STP., M.Agr. – Dosen Departemen TPHP FTP UGM