Ditulis oleh: Muhjidin Mawardi *)
Air merupakan sumber kehidupan. Jika tak ada air, maka tak akan ada kehidupan di muka bumi. Air dalam jumlah yang kurang atau berlebihan, keduanya akan menimbulkan permasalahan bagi kehidupan. Oleh karena itu, permasalahan air dan sumberdaya air di manapun harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh kalau tidak ingin terjadi bom waktu yang bisa menghancurkan kehidupan manusia dan makhluk lainnya di muka bumi. Terjadinya bom waktu masalah air ini diperkirakan semakin dekat dengan adanya fenomena perubahan iklim yang sudah dirasakan akibat dan dampaknya yang berupa, kenaikan suhu udara, perubahan cuaca yang ekstrem, pola hujan yang juga berubah yang mengakibatkan terjadinya banjir, tanah longsor dan diikuti dengan kekeringan sebagaimana telah terjadi di beberapa daerah di tanah air.
Kekurangan air sudah sering dialami oleh beberapa daerah, sehingga kebutuhan air penduduk untuk keperluan rumah tangga, pertanian dan kebutuhan dasar lainnya tak tercukupi. Akibat langsung dari tak tercukupinya kebutuhan air ini antara lain, terjadinya gagal bercocok tanam dan panen yang berakibat terganggunya persediaan bahan pangan, sanitasi yang buruk dan kelaparan yang berdampak munculnya penyakit akibat kurang pangan dan gizi buruk. Kegagalan panen (puso) yang berakibat pada terganggunya ketersediaan bahan pangan nasional yang mengarah ke kelangkaan bahan pangan hingga kelaparan sudah terjadi di beberapa daerah seperti di Nusatenggara Timur, Papua dan di beberapa Kecamatan lain di tanah air beberapa waktu yang lalu. Kekurangan pasok air juga bisa mengganggu perekonomian daerah maupun nasional, bahkan memicu terjadinya konflik antar sektor, antar daerah maupun konflik antar pengguna air, sehingga bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Erat kaitannya dengan kelangkaan air dan pangan ini adalah sanitasi yang tidak memadai, yang juga menjadi masalah bagi sekitar 2,0 miliar penduduk dunia. Beberapa penyakit akibat kelangkaan air dan sanitasi yang buruk, seperti penyakit akibat kelaparan, kekurangan gizi, kolera, tifus, dan disentri hingga saat ini masih merupakan ancaman bagi sebagian penduduk dunia. Sebagaimana pernah dilaporkan oleh FAO (2000), sekitar 2,0 juta orang yang kebanyakan adalah anak-anak yang berasal dari beberapa negara miskin dan berkembang, meninggal setiap tahunnya karena beberapa penyakit tersebut dan akibat kelangkaan air dan kelaparan.
Potensi ketersediaan air (permukaan) secara keseluruhan di negara kita, diperkirakan sebanyak 12.000 m3 perkapita pertahun. Ketersediaan air ini memang jauh diatas rata-rata ketersediaan air dunia yang hanya sekitar 8.000 m3 perkapita pertahun. Namun jika ketersediaan ini dilihat dari sebarannya terutama sebaran perpulau atau per daerah aliran sungai (DAS), maka akan bermakna lain. Pulau Jawa misalnya yang luasnya mencapai 7,0 % dari luas total daratan wilayah Indonesia, hanya tersedia sekitar 6,0-7,0 % dari potensi ketersediaan air (permukaan) nasional, padahal pulau ini dihuni oleh sekitar 65 % dari total penduduk Indonesia. Ketersediaan air permukaan di P. Jawa hanya sekitar 1.200 m3 perkapita pertahun, yang hal ini berarti berada dibawah baku (standard) kecukupan air yakni 1.500 m3 perkapita pertahun. Ketersediaan air ini diperkirakan akan terus menurun dari tahun ketahun dan pada tahun 2020, diperkirakan hanya akan tersedia pada kisaran 1000 m3 perkapita pertahun. Suatu volume ketersediaan yang sangat rendah, hampir mencapai keadaan kritis. Ketersediaan ini tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, pertanian (irigasi), serta kebutuhan air lainnya. Dengan kata lain potensi terjadinya krisis air di Jawa dan beberapa pulau lain seperti di Sumatera dan Nusatenggara sudah di depan mata, bahkan sudah dirasakan oleh sebagian penduduk di wilayah tersebut.
Hasil kajian lain tentang kondisi air global yang telah disampaikan pada Forum Air Dunia ke II di Denhaag pada tahun 2000, menyebutkan bahwa pada tahun 2025-2030, diperkirakan akan terjadi krisis air di banyak negara di dunia. Negara kita meskipun termasuk satu diantara sepuluh negara yang dikelompokkan dalam negara yang dianggap sebagai negara “kaya air”, diperkirakan akan mengalami pula krisis air di masa datang. Hal ini ditengarai sebagai akibat dari telah terjadinya kerusakan (sistem) lingkungan air, kesalahan pemahaman pemerintah dan masyarakat tentang air, tidak atau belum diterapkannya konsep konservasi air, masih rendahnya komitment masyarakat serta kesalahan pemerintah dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, lahan dan air.
Dengan jumlah penduduk di negara berkembang yang sekitar 1 milyar jiwa, sekitar 850 juta merupakan penduduk pedesaan yang tak mempunyai akses terhadap pasok air bersih yang aman dan memadai. Dengan perkiraan yang konservatif, jumlah orang yang hidup di negara yang mengalami kelangkaan air (setara dengan 1000 m3 per orang pertahun) yang pada tahun 2000 “hanya” 130 juta, pada tahun 2025 akan menjadi sekitar 820 – 1.080 juta. Akibat dan dampak dari kekurangan pasok air ini akan sangat besar bagi ketersediaan pangan dan kesehatan penduduk di negara-negara yang bersangkutan. Dan yang paling banyak terkena akibat langsung dan dampak dari masalah kelangkaan air ini adalah penduduk miskin yang tinggal di pedesaan dan pemukiman padat di perkotaan.
Ancaman krisis air bukan lagi wacana akan tetapi sudah di depan mata. Tindakan konservasi air yang terprogram dalam jangka pendek dan jangka panjang sudah sangat mendesak untuk diterapkan oleh pemeritah dan harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Program konservasi air ini harus merupakan bagian tak terpisahkan dari program pengelolaan sumberdaya air (PSDA) secara keseluruhan. Upaya konservasi air ini hanya akan berhasil bila pemerintah mempunyai kebijakan yang jelas dan berkeadilan dengan komitmen yang tinggi serta didukung oleh seluruh lapisan masyarakat yang sadar akan pentingnya konservasi air. Aspek legal (UU Konservasi Tanah dan Air beserta peraturan lainnya yang terkait) yang sudah ada hanya akan menjadi macan kertas, jika tak diimbangi dengan kesadaran dan komitmen yang tinggi dari semua unsur masyarakat dan bangsa. Undang-undang tentang pengelolaan hutan, lahan dan air serta sumberdaya air yang pasal-pasalnya tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 harus ditinjau ulang dan direvisi agar keadilan dan kedaulatan pemanfaatan lahan dan air bisa ditegakkan.
*) Prof. Dr. Ir. Muhjidin Mawardi, M.Eng. – Dosen Departemen TPB FTP UGM | e-mail : muhjidinmawardi@ugm.ac.id