Ditulis oleh : Andriati Ningrum *)
Daging sebagai sumber nutrisi
Daging merupakan salah satu sumber nutrisi yang baik, terutama sebagai sumber protein hewani. Definisi daging sendiri dibedakan dengan istilah karkas, dimana daging umumnya sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas masih mengandung tulang. Daging merupakan sumber protein yang berkualitas baik, mengandung vitamin B seral mineral khususnya zat besi. Komposisi kimia daging berbeda beda tergantung dari beberapa faktor diantaranya jenis spesies hewan, kondisi kesehatan hewan, jenis atau bagian daging, proses pengawetan, penyimpanan dan pengemasan.
Tabel 1. Kandungan nutrisi beberapa jenis daging (USDA, 2013)
Jenis daging | Lemak (g) | Protein (g) | Kalori (kcal) | Kolesterol (mg) | Zat besi (mg) | Vitamin B 12 (mcg) |
Sapi | 18.54 | 27.21 | 283 | 87 | 2.72 | 2.5 |
Kerbau | 2.42 | 28.44 | 143 | 82 | 3.42 | 2.86 |
Ayam | 7.41 | 28.93 | 190 | 89 | 1.21 | 0.33 |
Daging Salmon | 6.69 | 25.4 | 169 | 84 | 0.50 | 5.67 |
Walaupun terkait dengan isu kolesterol yang ditemukan pada daging dan keterkaitannya dengan pemicu beberapa penyakit degeneratif, konsumsi sesuai asupan yang dianjurkan sehari-hari dapat meminimalisir timbulnya penyakit degeneratif. Adanya Zat Besi dan juga Vitamin B12 pada daging dapat membantu untuk mencegah terjadinya anemia gizi besi dan juga anemia pernicious (defisiensi B12). Kandungan asam amino pada daging pada daging yang lengkap juga dibutuhkan untuk kesehatan.
Apa itu Post Mortem
Setelah penyembelihan (slaughtering), maka daging akan mengalami masa post mortem. Tedapat perbedaan karakteristik fisikokimia dari daging sebelum penyembelihan (pre mortem) dan setelah penyembelihan (post mortem). Beberapa reaksi biokimia dan kimia akan menyebabkan terjadinya perubahan fisikokimia dari daging ini (Lonergan, Zhang, & Lonergan, 2010). Kita ketahui bahwa daging terdiri dari tiga jaringan utama yaitu jaringan otot, jaringan lemak dan jaringan ikat. Pada walnya setelah pasca pemotongan (slaughtering), dagingnya bersifat lentur dan lunak namun demikian setelahnya terjadi perubahan-perubahan dimana jaringan otot pada daging akan menjadi lebih keras, kaku (fase rigor mortis) dan juga sulit untuk digerakan (Huff-lonergan & Lonergan, 2005). Namun demikian, keadaan ini tidak akan berlangsung lama, beberapa waktu kemudian daging akan menjadi empuk lagi (fase pasca rigor).
Perubahan apa yang terjadi selama Post Mortem
Setelah proses penyembelihan, maka sirkulasi darah pada hewan akan berhenti. Hal ini akan menyebabkan fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti. Dengan berhentinya proses respirasi maka akan terjadi reaksi glikolisis yang anaerobik dan menghasilkan produksi asam laktat, sehingga dilanjutkan dengan adanya serangkaian perubahan biokimia dan kimia seperti perubahan pH daging, perubahan kelarutan protein, perubahan daya ikat air (water holding capacity), perubahan jaringan otot (Lonergan et al., 2010).
a. Perubahan pH daging
Pada saat post mortem terjadi penurunan pH pada daging dikarenakan adanya metabolisme anaerobic yang akan menghasilkan asam laktat pada jaringan daging. Produksi asam laktat ini akan menyebabkan penurunan pH daging yang akan terjadi secara bertahap dari pH normal menjadi pH akhir sekitar 3.5 hingga 5.5 (Lonergan et al., 2010). Dengan perubahan pH ini juga akan menyebabkan terjadinya perubahan warna pada daging, dimana dengan menurunya pH warna daging akan menjadi lebih pucat seperti pada gambar di bawah ini.
b. Perubahan rigor pada jaringan otot daging
Dengan berhentinya proses respirasi, maka menyebabkan penurunan jumlah ATP (Adenosine Tri Phosphate) pada jaringan daging yang berfungsi sebagai sumber energi (Huff-lonergan & Lonergan, 2005; Lonergan et al., 2010). Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan kekakuan pada jaringan otot daging atau dikenal dengan istilah fase rigor mortis. Terjadinya kekakuan pada jaringan daging pada saat rigor mortis ini disebabkan juga karena adanya crosslinking pada protein aktin dan myosin jaringan otot daging. Namun demikian, setelah fase rigor mortis (kekakuan) dilewati maka demikian jaringan otot pada daging akan mengalami fase pasca rigor. Saat ini maka daging akan menjadi lunak. Pada saat ini tidak berarti daging menjadi lunak karena adanya pemecahan cross linking pada protein aktin dan myosin tapi karena adanya penurunan nilai pH yang menyebabkan enzim katepsin akan aktif dan mendesintegrasi jaringan otot miofilamen, menghilangkan gaya adhesi antara serabut otot erta melonggarkan struktur protein serat otot.
c. Perubahan daya ikat air
Daya ikat air (Water Holding Capacity) juga dipengaruhi oleh pH daging serta jumlah ATP pada jaringan daging (Huff-lonergan & Lonergan, 2005). Pada saat daging dalam kondisi pre rigor, daya ikat air masih sangat tinggi namun bertahap menurun dengan menurunnya nilai pH dan jumla ATP pada jaringan otot daging. Titik minimal daya ikat air berada pada range 5.3-5.5 pada fase rigor mortis dimana daging sangat kaku dan tidak memiliki ruangan untuk mengikat air karena adanya ikatan cross linking yang kuat antara aktin dan myosin pada jaringan otot daging. Namun demikian, dengan menurunnya nilai pH maka enzim Katepsin yang merupakan enzim proteolitik menjadi aktif segingga dapat melonggarkan struktur protein serat daging sehingga daya ikat air akan meningkat kembali (Lonergan et al., 2010). Selain secara perubahan internal dimana katepsin akan aktif kembali, seringkali ada penambahan enzim proteolitik eksternal seperti papain dari ekstrak daun papaya maupun bromelain dari ekstrak buah nanas yang bersifat proteolitik dan dapat meningkatkan nilai tenderness atau keempukan dari daging karena enzim ini dapat melonggarkan struktur protein serat daging.
Optimalisasi kualitas daging Post Mortem
Dengan melihat terjadinya perubahan biokimia dan kimia pada daging post mortem, oleh karena perlu dilakukan beberapa teknik untuk optimalisasi kualitas daging. Beberapa metode di bawah ini umumnya dgunakan sebagai penanganan post mortem.
a. Pelayuan daging (Aging)
Seperti dijelaskan sebelumnya, setelah proses penyembelihan, maka daging akan mengalami fase rigor mortis dimana daging akan menjadi lebih keras, kaku dan alot (Biswas, Tandon, & Sharma, 2016). Sehingga jika daging ini dikonsumsi langsung oleh konsumen akan menyebabkan penurunan kualitas sensoris dari daging tersebut. Untuk menghindari atau menghilangkan daging dari fase rigor mortis ini, maka dilakukan upaya pelayuan dimana daging dibiarkan menyelesaikan proses rigornya sendiri dalam penyimpanan. Proses ini dilakukan dengan penyimpanan daging pada beberapa waktu tertentu dengan tujuan tertentu.
Umumnya daging dibiaskan dilayukan dalam bentuk karkas maupun setengah karkas. Mengapa demikian? Umumnya hal ini dilakukan sehingga dapat menurunkan jumlah luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba kontaminan yang dapat menyebebabkan pembusukan pada daging. Proses pelayuan (aging) dilakukan sesuai komoditas daging, kualitas karkas dan suhu pelayuan.
b. Curing Daging
Curing merupakan proses dasar dalam pengawetan daging melalui penambahan senyawa garam (Sentandreu & Sentandreu, 2014). Beberapa jenis garam yang digunakan misalnya NaCl, garam nitra dan nitrit serta gula. Garam NaCl akan berfungsi sebagai pemberi cita rasa, dan pengawet karena ion Cl bersifat sebagai anti bakteri. Sedangkan gula (sukrosa) yang digunakan dapat membantu garam membentuk rasa spesifik atau flavour yang spesifik.
Gambar 5. Reaksi curing dan proses curing
Pembentukan nitrit oxide myoglobin menyebabkan warna daging yang telah mengalami proses curing menjadi merah. Namun demikian, pemakaian senyawa nitrit maupun nitrat harus dalam batas batas tertentu karena bersifat toksik. Kandungan senyawa ntrit pada produk akhir harus kurang dari 200 ppm. Reaksi sampingan yang terjadi pada proses curing yaitu terbentuknya senyawa karsinogenik yang disebut nitrosamine. Oleh karena itu penggunaaan garam nitrat dan nitrit sesuai aturan perlu diawasi sehingga dapat meminimalisasi terbentuknya reaksi sampingan ini.
c. Penyimpanan kemasan vakum maupun modified atmosphere packaging
Dengan menyimpan daging melalui teknik vakum maupun modified atmosphere packaging melalui pengendalian komposisi dan kadar udara dalam kemasan dapat menghambat terjadinya perubahan warna pada daging dan meningkatkan fator kualitas kesegaran daging. Oksidasi zat warna daging yaitu myoglobin dapat menyebabkan terbentuknya metmioglobin sehingga daging berwarna menjadi coklat. Dengan menggunakan teknik pengemasan vakum maupun modified atmosphere packaging (komposisi udara : 20/70/10% CO2/O2/N2) dapat menyebabkan penurunan oksidasi myoglobin menjadi metmioglobin. Sehingga kualitas warna daging akan lebih baik dengan mengunakan teknik pengemasan tersebut (Kirkin, Mitrevski, Gunes, & Marriott, 2014; Park, Lee, & Hwang, 2007; Vieira & Martínez, 2016)
Gambar 6. Teknik pengemasan dengan metode vakum dan modified atmosphere packaging untuk optimasi kualitas daging
Referensi :
Biswas, A. K., Tandon, S., & Sharma, D. (2016). LWT – Food Science and Technology Identi fi cation of different domains of calpain from blood and goat skeletal muscle and their in fl uence on quality during post-mortem ageing of meat during holding at 4 ± 1 C, LWT, 71, 60–68. doi:10.1016/j.lwt.2016.03.005
Huff-lonergan, E., & Lonergan, S. M. (2005). Mechanisms of water-holding capacity of meat : The role of postmortem biochemical and structural changes, Meat Science, 71, 194–204. doi:10.1016/j.meatsci.2005.04.022
Kirkin, C., Mitrevski, B., Gunes, G., & Marriott, P. J. (2014). Combined effects of gamma-irradiation and modified atmosphere packaging on quality of some spices. Food Chemistry, 154, 255–261. doi:10.1016/j.foodchem.2014.01.002
Lonergan, E. H., Zhang, W., & Lonergan, S. M. (2010). Biochemistry of postmortem muscle — Lessons on mechanisms of meat tenderization. Meat Science, 86(1), 184–195. doi:10.1016/j.meatsci.2010.05.004
Park, B. Y., Lee, J. M., & Hwang, I. H. (2007). Effect of Postmortem Metabolic Rate on Meat Color, Meat Science 20(4), 598–604.
Sentandreu, M. Á., & Sentandreu, E. (2014). Authenticity of meat products: Tools against fraud. Food Research International, 60, 19–29. doi:10.1016/j.foodres.2014.03.030
USDA.2013. Nutrition of Meat. USDA, USA.
Vieira, C., & Martínez, B. (2016). Effect of post mortem temperatures and modi fi ed atmospheres packaging on shelf life of suckling lamb meat, LWT – Food Science and Technology, 69. doi:10.1016/j.lwt.2016.02.008
*) Dr. Andriati Ningrum, STP., M.Agr. – Dosen Departemen TPHP FTP UGM