Kalaulah ada satu momen yang layak dinobatkan sebagai waktu festival kuliner terbesar, terlama dan termegah di dunia ini, maka Ramadhan adalah kandidat terkuatnya. Mengapa? Karena selama Ramadhan (± 30 hari) umat muslim di segenap tempat secara swadaya dan massal memasak, melakukan jual beli serta menyantap berbagai kuliner khas Ramadhan. Mereka memposisikan makanan yang akan disantap dan prosesi menyantap secara istimewa. Dengan lebih dari 1,5 milyar penganut Islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia, momen tersebut menjadi sangat meriah dan bergairah dengan kehadiran makanan-makanan yang terkadang sulit ditemui di waktu-waktu lain. Bahkan, saking bergairahnya sektor kuliner pada saat Ramadhan, peserta festival kuliner Ramadhan tidak lagi dibatasi oleh status agama dan latar belakang profesi, seperti lazim kita saksikan di negara Indonesia tercinta ini. Semuanya ikut terlibat, dan menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan. Tengoklah lapak-lapak dadakan yang muncul menjamur di pasar-pasar, di pinggir-pinggir jalan, bahkan di sudut-sudut pemukiman yang selalu ramai dengan aktivitas jual beli menjelang waktu-waktu berbuka puasa. Mereka menjajakan berbagai jenis makanan dan minuman yang menggugah selera, cocok untuk dinikmati setelah seharian berpuasa.
Suasana Pasar “Pabukoan” di salah satu sudut Kota Padang (Sumber foto: minangkabaunews.com)
Kita tidak hanya berbicara tentang jenis makanan khas yang muncul di saat Ramadhan, melainkan juga peristiwa budayanya. Ramadhan telah menjadi bagian budaya di tengah masyarakat muslim. Tidak peduli apakah muslim sebagai mayoritas atau minoritas di suatu wilayah. Ritual Ramadhan ada pada wilayah personal, tetapi dilakukan serentak oleh setiap muslim dan keluarga muslim. Oleh karena itu peristiwa budayanya menjadi personal juga, dilakukan secara swadaya namun masif. Setiap keluarga mempunyai tradisi unik dalam menyemarakkan Ramadhan, yang biasanya diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan ketika ada anggota keluarga yang terpisah dari keluarga besarnya, misalnya saat di perantauan, ia tetap semampunya berusaha meneruskan tradisi Ramadhan keluarganya. Sebagai contoh adalah tetap mengikuti pola makan yang biasa dilakukan di rumah asalnya. Ada keluarga yang punya tradisi makan besar dilakukan setelah sholat tarweh, sementara keluarga lainnya segera menyantap hidangan pembuka dan hidangan utama sekaligus segera setelah adzan magrib berkumandang.
Lebih besar daripada tradisi keluarga adalah tradisi komunitas. Di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya muslim dan memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, sudah lazim kita temukan tradisi Ramadhan yang melibatkan seluruh anggota sebuah komunitas. Baik komunitas dalam suatu wilayah atau komunitas berdasarkan kesamaan-kesamaan latar belakang. Tradisi buka bersama adalah contoh paling akurat. Dari buka bersama sederhana yang intinya menyantap hidangan pembuka bersama-sama, sampai buka bersama akbar yang melibatkan juga peristiwa masak-memasak massal dan ritual-ritual khas. Ini bisa kita temukan di seluruh penjuru bumi dimanapun komunitas muslim berada. Maka festival kuliner Ramadhan juga sangat kaya akan keunikan-keunikan tradisi budaya.
Lalu dimana posisi makanan tradisional?
Jika kita berpegang pada definisi makanan tradisional sebagaimana yang disebutkan oleh Prof. Murdijati Gardjito, bahwa “makanan tradisional adalah makanan yang diolah dari bahan pangan hasil produksi setempat, dengan proses yang telah dikuasai masyarakat dan hasilnya adalah produk yang citarasa, bentuk dan cara makannya dikenal, digemari, dirindukan, bahkan menjadi penciri kelompok masyarakat tertentu” (lihat artikel “Makanan Tradisional Indonesia”), maka jelaslah bahwa makanan tradisional adalah ruh dalam festival kuliner Ramadhan. Kenapa? Karena ada ikatan yang kuat antara tradisi Ramadhan dengan makanan yang disantap selama Ramadhan. Suatu ikatan yang terbentuk dari generasi ke generasi dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat, yang biasanya terbawa terus meskipun anggota keluarga atau anggota kelompok masyarakat itu terpisah jauh dari keluarga/kelompok asalnya. Makanan yang dikenal, digemari, dirindukan bahkan menjadi penciri Ramadhan sudah semestinya adalah makanan tradisional, meskipun dari waktu ke waktu kita menemukan juga makanan-makanan baru yang dikreasikan dan dimunculkan saat Ramadhan. Kebanyakan dari makanan kreasi baru itu hanya tren sesaat, tetapi ada pula ada yang bertahan lama bahkan tidak mustahil dimasa mendatang dianggap layak disebut sebagai kuliner tradisi Ramadhan.
Kita harus mempertimbangkan bahwa kuliner tradisi Ramadhan di Indonesia sebagai tradisi kuliner Indonesia. Sebab tradisi Ramadhan di Indonesia tidaklah bersifat ekslusif dan tertutup. Ia telah menjadi bagian seutuhnya dari budaya bangsa Indonesia. Tradisi Ramadhan adalah salah satu puncak budaya diantara puncak-puncak budaya lainnya yang membentuk budaya Indonesia. Oleh karena itu kuliner tradisi Ramadhan adalah bagian kuliner tradisional Indonesia, meskipun beberapa makanan diantaranya sulit dilacak kelompok masyarakat pemilik aslinya. Contohnya adalah kolak, yang sudah sangat populer sebagai sajian ta’jil atau sebagai makanan penutup (pada sebagian masyarakat). Kolak dengan segala variasinya dikenal oleh hampir seluruh masyarakat muslim Indonesia. Akan sulit menelusuri asal muasal hidangan ini, dan akan lebih sulit lagi menobatkan kelompok masyarakat tertentu sebagai pemilik aslinya. Jika hal ini dilakukan, akan ada klaim-klaim yang intinya membantah penobatan tersebut. Yang jelas, kolak adalah kuliner tradisional yang dimiliki bersama oleh seluruh masyarakat muslim di negeri ini.
Setiap festival apapun pasti ada puncak dan akhirnya. Pada festival kuliner Ramadhan, puncaknya adalah pada akhir masa berpuasa, di awal bulan Syawal yang kita kenal sebagai Idul Fitri atau Lebaran Puasa. Sebagai puncak festival, tentu sudah dapat ditebak segala sesuatu menjadi lebih megah dan all out, pun memang demikian adanya dengan Idul Fitri/Lebaran. Segala sajian istimewa tumpah ruah, dan seolah semua orang mendedikasikan hari tersebut sebagai hari bersantap dalam suasana terbaik. Meriah, megah dan kolosal. Lebaran adalah puncak festival, tetapi bukan akhir festival. Pada banyak kelompok masyarakat Indonesia, festival masih berlanjut bahkan sampai akhir bulan Syawal, tergantung tradisi kelompok masing-masing. Contohnya adalah Lebaran Ketupat di Jawa Tengah, yang disebut-sebut sebagai Lebaran kedua yang diselenggarakan 6 hari setelah Idul Fitri. Ramadhan memang saat yang tepat untuk kembali ke selera asal kita, melalui festival kulinernya.