Indonesia memiliki beragam produk pertanian, baik segar maupun olahan. Diantara produk-produk tersebut, ada beberapa yang memiliki keterkaitan kuat dengan daerah dimana produk tersebut berasal, baik karena faktor alam, faktor manusia, maupun kombinasi diantara keduanya. Karena keterkaitannya yang kuat, maka ketika dipasarkan, daerah asal produk digunakan sebagai bagian nama produknya. Penamaan produk semacam ini dikenal dengan istilah ‘indikasi geografis.’
Pengaruh faktor alam, faktor manusia, maupun kombinasi diantara keduanya, memberikan karakteristik mutu yang khas pada produk yang dihasilkan, dan membedakannya dengan produk sejenis yang beredar di pasaran. Karakteristik khas produk indikasi geografis sebenarnya tidak mudah (dan juga tidak murah) untuk ditiru oleh produk pesaing, namun kemungkinan penggunaan indikasi geografis pada produk tiruan dengan kualitas inferior sangat mungkin terjadi. Penyalahgunaan inilah yang melatarbelakangi perlunya perlindungan hukum terhadap produk-produk indikasi geografis dan penelitian untuk menemukan parameter kunci yang dapat meng-otentifikasi produk-produk indikasi geografis di Indonesia. Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang No.15 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2007 yang mengatur perlindungan terhadap produk indikasi geografis, sementara penelitian otentifikasi produk-produk indikasi geografis di Indonesia, sepengetahuan penulis, belum banyak dilakukan.
Uraian diatas menyiratkan bahwa aplikasi indikasi geografis melibatkan berbagai aspek, baik aspek hukum, pemasaran, pengetahuan bahan, standardisasi mutu dan teknologi pengolahan. Salah satu ciri khas keilmuan agroindustri adalah pengintegrasian berbagai aspek yang berkaitan dengan rekayasa bahan, pengendalian mutu, pemasaran dan manajemen sebagai suatu sistem dalam menjawab permasalahan agroindustri. Dengan ciri khas ini, keilmuan agroindustri sedikit banyak bersinggungan dengan kajian indikasi geografis dan diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap aplikasi kebijakan indikasi geografis di Indonesia yang melibatkan berbagai aspek.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007, indikasi geografis diartikan sebagai tanda yang menunjukkan nama suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Sebagaimana nama komersial yang digunakan pada berbagai produk di pasar, indikasi geografis juga berfungsi sebagai penciri yang memudahkan identifikasi produk oleh konsumen. Kebijakan ini paling tidak mempunyai dua tujuan, yang pertama memungkinkan petani dan produsen menyediakan informasi kualitas penciri produknya kepada konsumen melalui labelnya, dan yang kedua melindungi produk tersebut dari upaya pemalsuan.
Untuk dapat menggunakan indikasi geografis, sebuah produk harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis dan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2009 tentang Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi. Sementara ketentuan tarif yang terkait dengan pendaftaran produk untuk diakui sebagai produk berindikasi geografis diatur melalui Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2009. Berbagai produk hukum baik dalam bentuk perundang-undangan maupun peraturan pemerintah ini mengindikasikan bahwa aspek hukum yang mengatur produk indikasi geografis di Indonesia telah diperhatikan. Produk hukum tersebut masih sangat mungkin berkembang di masa yang akan datang selaras dengan perkembangan kebutuhan aturan main indikasi geografis yang dinamis baik di tingkat nasional maupun internasional. Lebih lanjut, upaya sosialisasi produk hukum ini perlu lebih intensif dilakukan untuk mempercepat perkembangan aplikasi indikasi geografis di Indonesia.
Indonesia memiliki beragam produk pertanian, baik segar maupun olahan. Hampir tiap daerah di Indonesia memiliki produk unggulan yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Produk unggulan tersebut berpotensi diajukan sebagai produk indikasi geografis guna mendapatkan perlindungan dari upaya pemalsuan yang dapat mengurangi/ merusak reputasinya. Menurut publikasi Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional (2004), Indonesia memiliki beberapa komoditas unggulan dengan reputasi internasional maupun nasional yang berpotensi sebagai produk indikasi geografis, seperti kopi, tembakau dan lada. Khusus untuk komoditas kopi, menurut Mawardi, et al., (2005), Indonesia mempunyai beberapa jenis kopi yang bereputasi dunia seperti Kopi Taoraja (Sulawesi Selatan), Kopi Jawa (Jawa Timur), Kopi Mandheling (Sumatera Utara), Kopi Lintong (Sumatera Utara), dan Kopi Gayo (Aceh). Selain itu, Kopi Kintamani (Bali) dikenal sebagai salah satu produk kopi yang telah memperoleh sertifikasi produk indikasi geografis semenjak 2008. Sementara berdasarkan penelusuran pada website Dirjen HKI, pada tahun 2011 terdapat delapan produk yang didaftarkan dan dipublikasikan, sebelum nantinya mendapatkan sertifikat perlindungan sebagai produk indikasi geografis .
Banyaknya jumlah produk yang didaftarkan tersebut mengindikasikan paling tidak dua hal, (1) adanya permintaan terhadap produk-produk indikasi geografis; dan (2) tingginya minat produsen untuk melindungi produk-produknya dari kemungkinan upaya penyalahgunaan/ pemalsuan. Selain itu, keberadaan undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur indikasi geografis juga menguatkan kedua indikasi diatas. Walaupun telah ada indikasi permintaan terhadap produk indikasi geografis, riset pasar dan kebijakan publik, baik yang berskala lokal maupun nasional tetap diperlukan untuk memperoleh informasi permintaan pasar yang lebih akurat. Disisi lain, keberagaman latar belakang sosial budaya masyarakat di Indonesia memerlukan kajian riset berskala lokal yang ketika dikumpulkan kedalam suatu basis data nasional dapat memberikan informasi pasar berskala nasional. Riset-riset tersebut paling tidak diharapkan dapat menjawab dua pertanyaan berikut: (1) apakah konsumen mempersepsikan bahwa ada keterkaitan yang erat antara kualitas dengan tempat dimana produk ditanam/ diproduksi?; dan (2) apakah kebijakan indikasi geografis berdampak pada perbaikan kesejahteraan petani/ produsen produk berindikasi geografis? Kajian serupa pada produk Kopi Kintamani sebenarnya telah dilaksanakan oleh (Mawardi S. , 2009).
Sumber: Anggoro Cahyo Sukartiko dalam Bab Kontribusi Potensial Keilmuan Agroindustri dalam Aplikasi Kebijakan Indikasi Geografis di Indonesia, Buku Agroindustri Indonesia: Kritik dan Opini Alternatif Solusi Agroindustri 2013