Padi (Oriza sativa) adalah salah satu komoditi utama di Indonesia dengan produktivitas rata-rata untuk tahun 2015 sebesar 53,41 kuintal/ha [1]. Padi telah dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia bahkan sebelum penjajahan terjadi yaitu 1500 SM dibawa oleh nenek moyang yang bermigrasi dari dataran Asia [2]. Proses pembudidayaan padi dilakukan oleh petani baik secara konvensional maupun modern dengan menggunakan alat dan mesin pertanian. Penanganan padi dari mulai panen hingga menjadi produk akhir yang siap didistribusikan dinamakan pascapanen padi. Pascapanen padi adalah serangkaian tahapan kegiatan yang meliputi pemungutan (pemanenan) malai, perontokan gabah, penampian, pengeringan, pengemasan, penyimpanan, dan pengolahan sampai siap dipasarkan atau dikonsumsi [3]. Proses pascapanen memiliki tujuan untuk mengurangi kehilangan hasil, menekan tingkat kerusakan hasil panen, meningkatkan daya simpan dan daya guna komoditas pertanian, meningkatkan nilai tambah dan pendapatan, meningkatkan devisa negara dan perluasan kesempatan kerja, melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup [4,5].
Proses pascapanen padi diawali dengan pemanenan padi yang penentuan pelaksanaanya didasarkan pada umur tanam dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu varietas, iklim, dan tinggi tempat sehingga umur panen padi bervariasi dan bperbedaannya berkisar 5-10 hari. Ciri – ciri padi yang siap dipanen yaitu ketika 90-95% dari bulir padi sudah bernas atau sudah berubah warna dari kuning hingga kuning keemasan. Umur panen adalah 30-35 hari setelah berbunga merata atau setelah 135-145 hari setelah tanam, dengan kadar air bulir padi pada musim panas berkisar 22-23% dan 24-26% di musim hujan [6]. Ketika tiba masa panen, petani akan menggunakan alat dan mesin pertanian yang di kategorikan menjadi konvensional dan modern. Alat dan mesin pemanen padi konvensional meliputi ani-ani dan sabit. Sedangkan alat dan mesin pemanen padi modern meliputi reaper, reaper binder dan combine harvester. Penggunaan combine harvester kini telah banyak diaplikasikan oleh petani, hal ini terbantu dengan dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Hortikultura Nomor: 299/Kpts/SR.130/D/12/2016 yang mengatur pengelolaan dan penyaluran bantuan pemerintah tahun anggaran 2017.
Padi yang telah dipanen kemudian perlu dipisahkan antara gabah dan malainya dengan cara dirontokkan menggunakan beberapa metode yaitu diinjak/iles, pukul/gedig, banting/gebot, pedal thresher, dan mesin perontok [7]. Thresher sebagai salah satu alat perontok padi modern terdiri dari 2 tipe berdasarkan posisi pemotongan, apabila dipotong bawah menggunakan pedal thresher dan apabila dipotong tengah atau atas menggunakan power thresher.Setelah didapatkan gabah dari proses perontokan, proses pascapanen selanjutnya adalah pembersihan padi/penampian dari kotoran. Proses penampian dapat dilakukan sebelum atau sesudah proses pengeringan, apabila proses pascapanen dari padi menggunakan combine harvester maka proses penampian tidak perlu dilakukan karena produk dari mesin combine harvester sudah dalam kondisi bersih dari kotoran dan gabah hampa, namun bila tidak menggunakan combine harvester maka proses pembersihan padi perlu dilakukan untuk memperoleh gabah bersih [8]. Prinsip penampian adalah menggunakan hembusan angin baik secara alami maupun dengan aliran angin buatan(artificial wind).
Pengeringan diperlukan untuk mengurangi kadar air dari gabah, hal ini dikarenakan standar kadar air maksimum gabah untuk disimpan adalah 14%. Air yang berada pada gabah sangat beresiko menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang dapat merusak kualitas gabah. Terdapat dua cara pengerigan yaitu pengeringan alami (paparan sinar matahari langsung) dan pengeringan buatan (mekanis). Pengeringan alami biasanya dilakukan dengan cara menyebarkan gabah diatas terpal dan ditempatkan di areal terbuka. Cara ini memiliki kekurangan yaitu intensitas cahaya matahari yang tidak dapat dikontrol, losses karena faktor cuaca maupun hewan disekitar dan rentan terkena kotoran disekitar areal penjemuran sehingga cara ini mulai ditinggalkan dan berpindah ke cara pengeringan mekanis yang lebih terkontrol, bersih dan losses dapat dikurangi. Tipe pengering mekanis bermacam-macam bergantung terhadap kebutuhan, contoh batch dryer, recirculated dryer, continuous dryer, dan lain sebagainya.
Gabah yang bersih dan kering kemudian disimpan baik dalam keadaan curah (tanpa dikemas) atau di kemas. Penyimpanan gabah dalam keadaan curah memerlukan sebuah bangunan khusus yang berfungsi sebagai penampung gabah dengan karakteristik dan rancangbangun yang telah diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan penyimpanan, secara garis besar bangunan simpan curah dibedakan menjadi dua yaitu bunker dan silo. Sedangkan untuk penyimpanan dengan pengemasan, gabah dapat dikemas dengan mengunakan pengemas berbahan goni atau plastik. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih kemasan yaitu kemasan harus dapat melindungi gabah dari efek pengangkutan dan penyimpanan, kemasan tidak boleh mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari gabah dan tidak boleh membawa organisme penganggu (hama), kemasan harus berasal dari material yang kuat dan mampu menahan beban tumpukan, dan mampu mempertahankan keseragaman dari kualitas gabah [9]
Berikut ini merupakan link video yang menunjukkan proses pemanenan sekaligus pengemasan gabah padi dengan menggunakan mesin combine harvester. Dengan menggunakan mesin ini diharapkan terdapat peningkatan efisiensi kerja dan kehilangan produk selama proses pemanenan hingga pengemasan.
Referensi :
[1] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2016. Produktivitas Padi Menurut Provinsi (kuintal/ha), 1993-2015. Diakses pada 7 Agustus 2017 dari https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/866 .
[2] Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects. Jakarta, 1984. Hal. 2503.
[3] Mejia, D.J. 2008. “An Overview of Rice Post-harvesttechnology: Use of Small Metallic Silos for Minimizing Losses”. Proceedings of the 20th Session of the International Rice Commission. Bangkok: FAO Corporate Document Repositoty.
[4] Anonim, 1986. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1986, tentang Peningkatan Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian. Jakarta.
[5] Grolleaud, M. 2001. Post-Harvest Losses: Discovering the Full Story Overview of the Phenomenon of Losses During the Post-Harvest System. Rome. FAO.
[6] Purwasasmita, M. Sutaryat, A. 2014 . Padi SRI Organik Indonesia. Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 103.
[7] Biro Pusat Statistik. 1996. Survei Susut Pascapanen, MT 1994/1995 Kerjasama BPS, Ditjen Tanaman Pangan, badan Pengendalian Bimas, Bulog, bappenas, IPB, dan Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
[8] Sulistiaji, K. 2007. Alat dan Mesin (ALSIN) Panen dan Perontokan Padi di Indonesia. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Serpong.
[9] Marwati. 2017. Penyimpanan dan Standar Mutu Gabah/Beras. Diakses pada 11 Agustus 2017 dari http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluhan/detail/11294/penyimpanan-dan-standar-mutu-gabahberas .