Salah satu hal penting yang belum banyak dilakukan di Indonesia, sepengetahuan penulis, adalah penelitian untuk dapat menemukan parameter kunci yang dapat meng-otentifikasi produk-produk indikasi geografis di Indonesia, padahal hasil penelitian sangat dibutuhkan dalam pembuktian dan penegakan aturan yang melindungi produsen dan konsumen dari kemungkinan pemalsuan.
Pada jenjang internasional, akibat adanya permintaan konsumen terhadap produk berindikasi geografis dan diberlakukannya perlindungan terhadap produk tersebut, jumlah penelitian untuk menentukan dan mengkarakterisasi asal usul geografis produk pertanian meningkat selama dua dekade terakhir. Menurut Gonzalves, Armenta, & Guardia (2009), metode analitik merupakan metode terbaik dalam menentukan asal usul geografis dalam rangka mencegah pemalsuan.
Penelitian karakterisasi asal usul geografis pada produk-produk olahan, mungkin memberikan kompleksitas tersendiri jika dibandingkan dengan produk segar, karena adanya tahapan-tahapan pengolahan yang dapat mempengaruhi parameter pendiskriminasi yang digunakan. Karenanya, pemilihan parameter yang digunakan dan pengetahuan dasar mengenai komposisi bahan dan proses-proses yang berlangsung selama pengolahan bahan baku menjadi produk merupakan hal yang esensial. Pengetahuan tersebut, yang merupakan salah satu aspek dalam keilmuan agroindustri, turut berkontribusi dalam pengembangan aplikasi indikasi geografis di Indonesia.
Isotop dan mineral adalah parameter yang sering digunakan dan telah terbukti dalam menentukan asal usul berbagai produk berindikasi geografis baik berupa produk olahan seperti keju; margarin; minuman anggur; maupun produk segar seperti beras; kentang; bawang; susu; dan daging.
Rasio isotop suatu elemen, terutama yang bersifat stabil seperti 2H/1H, 18O/16O, 13C/12C dan 15N/14N dapat digunakan sebagai parameter pendiskriminasi produk berindikasi geografis. Ketika terjadi fenomena alam yang memberikan efek fisika-kimiawi, seperti evaporasi, kondensasi, kristalisasi dan difusi, isotop suatu elemen terfraksinasi dan perubahannya dapat diukur sebagai rasio isotop berat dan isotop ringan (Kelly, Heaton, & Hoogewerff, 2005). Air, yang tersusun atas elemen oksigen dan hidrogen, merupakan sumber utama hidrogen semua senyawa organik biosfer (Keppler & Hamilton, 2008) dan juga oksigen pada tanaman terestrial (Brescia, di Martino, Guillou, Reniero, Sacco, & Serra, 2002). Menurut Yuntseover & Gat (1981) dalam Kelly, Heaton, & Hoogewerff (2005), air meteorik yang melewati siklus metrologi evaporasi, kondensasi dan presipitasi merupakan penyusun air bawah tanah dan mempunyai variasi isotop geografis yang sistematik. Proses fisikokimia dan biologi seperti fiksasi fotosintetik dapat menyebabkan terjadinya fraksinasi pada isotop stabil materi biologis (Perez, Smith, & Anderson, 2006). Brescia, et al. (2002) menyebutkan bahwa faktor iklim di area penanaman, yang dapat mempengaruhi pertukaran air dan CO2 antara tanaman dan lingkungan, mempengaruhi rasio isotop 13C/12C materi suatu tanaman. Lebih lanjut, Perez, Smith, & Anderson (2006) menyatakan kemungkinan perubahan nilai rasio isotop pada tanaman yang dipengaruhi oleh faktor geografis, koordinat lintang dan iklim suatu lokasi. Sementara itu, Kelly, Heaton, & Hoogewerff ( 2005) menerangkan bahwa rasio isotop stabil 15N/14N dapat menyediakan informasi praktik pertanian (misalnya jenis pupuk yang digunakan) yang dilakukan di daerah tempat produk ditanam/berasal, sehingga dapat pula digunakan sebagai paremeter pendiskriminasi.
Menurut Anderson, Magnuson, Tschirgi, & Smith (1999), komposisi mineral buah dan sayur merupakan refleksi komposisi mineral tanah dan lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh. Selain itu, karena sifatnya yang stabil, kandungan mineral pada bahan pertanian relatif tidak berubah selama transportasi dan penyimpanan, sampai dengan saat dianalisis. Hal inilah yang menyebabkan komposisi mineral tertentu dapat digunakan sebagai parameter untuk mendiskriminasi produk berindikasi geografis.
Pengukuran parameter-parameter pendiskriminasi tersebut membutuhkan instrumen analitik. Isotop stabil diukur dengan menggunakan instrumen Isotope Ratio Mass Spectrometry (IRMS), sementara analisis elemen dapat dilakukan baik dengan menggunakan instrumen Atomic Absorption Spectrometry (AAS), Atomic Emission Spectrometry (AES), maupun Mass Spectrometry. Penggabungan Inductively Coupled Plasma (ICP) dengan AES maupun MS mampu mengukur multi elemen suatu sampel secara simultan, sehingga memberikan manfaat-manfaat seperti semakin singkatnya waktu analisis. Selain instrumen analitik yang telah disebutkan, instrumen analitik lain seperti Gas Chromatography (GC), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Infra Red (IR)-Spectroscopy juga dapat digunakan sebagai alternatif pengukuran parameter pendiskriminasi yang lain. Masing-masing instrumen tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, mulai dari sensitivitas pengukuran, kemudahan preparasi sampel, waktu analisis dan biaya operasional ((Luykx & Ruth, 2008).
Selain ketersediaannya yang masih terbatas di Indonesia, biaya operasional dan biaya perawatan yang relatif tinggi, keterbatasan sumberdaya manusia yang menguasai ketrampilan penyiapan sampel dan analisisnya menggunakan instrumen analitik menjadi sebab masih kurangnya penelitian tentang parameter kunci pendiskriminasi produk indikasi geografis. Keilmuan agroindustri berkontribusi memberikan pengetahuan dasar tentang teori dan aplikasi penggunaan berbagai instrumen analitik tersebut, sehingga turut berperan dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang dibutuhkan pada berbagai jenjang.
Sebagaimana disebutkan dalam uraian sebelumnya, kopi merupakan salah satu produk unggulan Indonesia yang mempunyai reputasi internasional. Adanya variasi kualitas kopi akibat pengaruh lingkungan geografis tempat tanaman kopi berasal melatarbelakangi dilakukannya pencarian parameter yang dapat digunakan untuk membedakan kopi dari suatu daerah/ negara dengan kopi dari daerah/ negara lain. Weckerle, Richling, Heinrich, & Schreier (2002) menggunakan isotop stabil C, H, dan O dari kafein biji kopi untuk membedakan kopi dari berbagai daerah/ negara (Sumatra-Indonesia, negara-negara Afrika, negara-negara Amerika tengah dan selatan). Hasil penelitian tersebut menunjukkan karakter kopi Sumatra dengan rentang kasar -25 sampai -27‰, -165 sampai -185‰, dan -6 sampai -12 ‰ berturut-turut untuk isotop stabil d13CV-PDB, d2HV-SMOW dan d18OV-SMOW. Sebagai gambaran, jika dibandingkan dengan kopi dari Brazil, kopi Sumatra mempunyai kecenderungan nilai d13CV-PDB yang sedikit lebih tinggi, sedangkan nilai d2HV-SMOW dan d18OV-SMOW –nya sedikit lebih rendah. Sementara itu, peneliti-peneliti lain, seperti Anderson & Smith (2002) menggunakan parameter multi elemen mineral (K, Mg, Ca, Na, Al, V, Cr, Mn, Fe, Co, Ni, Cu, Zn, Mo, S, Cd, Pb, and P) biji kopi (roasted cofee bean) untuk membedakan kopi-kopi dari Sulawesi dan Sumatra-Indonesia, Afrika timur serta Amerika tengah/ selatan.
Seringkali penggunaan satu parameter saja tidak cukup untuk mengotentifikasi produk berindikasi geografis, memisahkannya dari sampel daerah lain, sehingga diperlukan lebih dari satu parameter pembeda. Kombinasi dari berbagai parameter dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan diskriminasi. Penggunaan kombinasi beberapa parameter ini membutuhkan perhitungan matematik yang kompleks, baik statistik multivariat maupun teknik lain seperti jaringan syaraf tiruan. Beberapa teknik multivariat seperti Principal Component Analysis (PCA), Canonical Discriminant Analysis (CDA), Linear Discriminant Analysis (LDA), Cluster Analysis (CA) dan K-nearest neighbour (KNN) telah terbukti mampu meningkatkan kemampuan diskriminasi sampel.
Sumber: Anggoro Cahyo Sukartiko dalam Bab Kontribusi Potensial Keilmuan Agroindustri dalam Aplikasi Kebijakan Indikasi Geografis di Indonesia, Buku Agroindustri Indonesia: Kritik dan Opini Alternatif Solusi Agroindustri 2013