Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki keragaman lingkungan fisik, dari dataran pantai hingga pegunungan, dari tanah berkapur hingga tanah lempung. Keanekaragaman fisik tentunya diikuti dengan keanekaragaman genetik, salah satunya pada beras1. Sembada Hitam, adalah salah satu produk beras lokal unggulan Kabupaten Sleman dengan jenis beras hitam
yang namanya telah didaftarkan di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PVTPP) Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Bagi sebagian orang beras hitam terdengar asing, bahkan mungkin tidak pernah mendengar karena kalah populer dengan ketan hitam. Dari segi kenampakan, sesuai dengan namanya, Sembada Hitam memiliki warna hitam pada kulit arinya. Hal tersebut karena adanya kandungan antosianin berwarna ungu pekat yang baik untuk kesehatan sebagai antioksidan.
Untuk menjaga eksistensi Sembada Hitam tentunya diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, dari perangkat pemerintahan, pelaku bisnis hingga konsumennya. Tujuannya tentu tidak hanya menjaga “keberadaannya” namun juga membentuk bisnis yang berkelanjutan. Integrasi dan koordinasi sistem produksi diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen sehingga perlu dilakukan pendekatan untuk mengatasi hambatan, baik teknis maupun non teknis. Chopra dan Meindl (2007)2 menggambarakan bahwa pendekatan tersebut adalah manajemen rantai pasok (supply chain management) yang mencakup aliran fisik, informasi, dan finansial.
Secara faktual, rantai pasok adalah kegiatan mengelola aliran barang, informasi, dan uang oleh satu atau beberapa aktor yang saling berhubungan secara teratur untuk memenuhi keinginan konsumen dalam hal mutu, jumlah, dan time delivery3 . Manajemen rantai pasok komoditas pertanian (agricultural supply chain) sangat komplek karena melibatkan banyak aktor dan aktivitas dalam produksinya. Aktor utama yang terlibat dimulai dari petani sebagai produsen, pedagang pengepul kecil (desa), pedagang pengepul besar (kecamatan), agroindustri, distributor, pengecer, dan konsumen3.
European Comision (EC) regulation No,178/2002 mendefinisikan traceability sebagai kemampuan menelusuri seluruh proses produksi dan distribusi yang mencakup produk pangan, pakan serta ingrediennya3. Dewasa ini, sistem traceability erat hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan konsumen sehingga berfokus pada optimasi, keamanan, dan aspek pasar. Kombinasi antara jaringan internet dalam bentuk website memungkinkan terbentuk interaksi antara aktor yang terlibat, baik produsen-konsumen, maupun antar produsen. Dalam membentuk sistem tersebut tentunya diperlukan suatu data base mengenai siapa saja aktor yang terlibat. Sistem dapat dikelola oleh penengah baik pelaku agroindustri maupun pemerintah terkait. Dengan supply chain traceability konsumen dapat mengetahui asal muasal produk, dalam hal ini adalah beras Sembada Hitam. Meskipun berasal dari satu varietas yang sama hasil panen Sembada Hitam dapat memiliki perbedaan mutu karena pengaruh keanekaragaman lingkungan fisik. Perusahaan pengolah pangan berbasis beras hitam mulai melirik Sembada Hitam untuk produksinya. Dengan sistem ini para pengusaha dapat menentukan siapa petani yang akan menanam dan di daerah mana. Tentu saja sistem ini akan sangat menarik dan peluang eksistensi Sembada Hitam akan meningkat.
References
1Kristamtini, Setyo W, Sutarno, Sudarmaji, dkk. Pelestarian Partisipasif Padi Beras Hitam Lokal di Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Genetik Pertanian. BPTP Yogyakarta.
2Chopra, S., and Mendl, P. 2007. Supply Chain Management: Strategy, Planning, and Operation [Third Edition]. New Jersey: Prentica Hall.
3Jaya, Rachman. 2014. Review Sistem Traceability Pada Rantai Pasok Produk Pertanian: Studi Kasus Komoditi Kakao. Jurnal Teknologi dan Mutu Industri Vol 1 No.17.
Tulisan oleh: Anisah Riyadi (TIP 2014)